Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama
Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan
).
tidak
dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya
dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram,
usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam
sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai
berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi
lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam
komunitas muslim di dunia.
berkembang bersama datangnya para kolonial. Kesamaan masa antara
pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat Islam
membenarkan pendapat bahwa
tersebut dibangun
dengan sengaja agar membantu penjajahan dengan menguasai
perekonomiannya. Juga agar tertanam dihati masyarakat adanya ketidak
sesuaian antara yang mereka yakini tentang pengharaman
.
Demikian juga dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang
benar dan cocoknya syari’at Islam di masa-masa kiwari ini.
oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Sudah cukup lama dunia Islam, khususnya masyarakat Islam
Indonesia, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai
dan prinsip syariah (Islamic economic system) dapat diterapkan dalam
segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Hal ini
dilatarbelakangi beberapa hal. Di antaranya:
1. Kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total, sebagaimana perintah Allah l dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh.” (Al-Baqarah: 208)
2. Kesadaran bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
terakhir Muhammad bin Abdillah n adalah syariat yang komprehensif,
menyeluruh dan merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah)
maupun sosial (muamalah). Bersamaan dengan itu, syariat Islam juga
universal, dapat diterapkan di setiap waktu dan tempat sampai hari
kiamat nanti.
3. Kenyataan bahwa selama ini yang mendominasi sistem perekonomian dunia adalah sistem yang berbasis pada nilai-nilai
riba,
ditukangi oleh tangan-tangan zionis dengan menebarkan wadah dalam
bentuk bank-bank konvensional yang merupakan kepanjangan tangan dari
riba
jahiliah yang dulu dimusnahkan oleh Rasulullah n.
Namun
pada kenyataannya, keinginan tersebut tidak mudah diwujudkan di alam
nyata. Bahkan mengalami hambatan cukup besar di tubuh muslimin sendiri
apalagi dari pihak non-muslim. Masih banyak kalangan yang berpandangan
bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang. Islam hanya
menangani masalah-masalah ritual keagamaan, dengan anggapan, itu adalah
dunia putih. Sementara bank dan pasar uang adalah dunia hitam, penuh
tipu daya dan kelicikan.
Maka tidaklah mengherankan bila ada sejumlah “cendekiawan” dan
“ekonom” melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya,
sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth).
Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa
kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila
dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi.
Belum lagi ditambah dengan merambahnya “kemalasan intelektual” yang
cenderung pragmatis sehingga memunculkan anggapan bahwa praktik
pembungaan uang, seperti yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan ciptaan
zionis (baca: bank konvensional) sudah ‘sejalan’ dengan ruh dan
semangat Islam. Para ‘alim ulama’ dan ‘kaum cendekia’ pun tinggal
membubuhkan stempel saja.
Dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu seperti gambaran di atas, lahirlah sistem perbankan syariah.
Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing (untung
dan rugi ditanggung bersama, red.) tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji
secara non-konvensional. (Bank Syariah, dari Teori ke Praktik hal. 18, Mohammad Syafi’i Antonio cet. Gema Insani-Tazkia Cendekia)
Rintisan institusional lain yang cukup signifikan dalam upaya pengembangan bank syariah adalah upaya percobaan yang dilakukan
Bank
IDDI Khor (rural social bank)1 yang mendirikan lembaga keuangan bernama
Mit Ghamr Bank, didirikan di Mesir tahun 1963 M. Para pendirinya adalah
Prof. Dr. Ahmad Najjar, Isa Abduh, dan Gharib Jamal.
Uji coba ini ternyata membuahkan hasil yang cukup spektakuler. Dalam kurun waktu empat tahun,
Mit Ghamr Bank
sudah memiliki tujuh cabang di lokasi sekitarnya, melebarkan sayap di
empat tempat, dan mendirikan pusat litbang (penelitian dan pengembangan)
untuk melayani permintaan di berbagai tempat yang ingin membuka bank
serupa. Setelah itu, mereka pun mengepakkan sayap ke dunia internasional
khususnya dunia Islam.
Semenjak itu, kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan-pertemuan untuk
mengembangkan bank syariah pun semakin marak sampai pada tingkat sidang
menteri luar negeri negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI).
Akhirnya, lahirlah Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development
Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah dengan semua negara anggota OKI
sebagai anggotanya.
Di tahun yang sama, muncul Bank Islam Dubai (Dubai Islamic
Bank). Pada akhir periode 1970-an serta awal 1980-an, bank-bank syariah
bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,
Malaysia, Banglades, dan Turki.
Sementara di tanah air, bank syariah baru muncul dengan ditandatanganinya akta pendirian
PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Nopember 1991.
BMI ini lahir berkat hasil kerja TPMUI (Tim Perbankan Majelis Ulama
Indonesia). Setelah itu bermunculan bank-bank syariah lainnya. Ada yang
secara khusus, ada pula bank-bank konvensional yang membuka sub-syariah
seperti
BNI Syariah, Syariah Mandiri, Niaga Syariah, Mega Syariah, dan sebagainya.
Hasilnya, bank-bank syariah sekarang menjadi ikon baru dalam dunia
perbankan dan perekonomian dunia. Aset mereka menggelembung secara
siginifikan dari tahun ke tahun.
Suatu hal yang patut juga dicatat adalah saat nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti
Citibank, Jardine Fleming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan
lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries (anak perusahaan, red.)
yang berdasarkan syariah.
Dalam dunia pasar modal pun, Islamic Fund (Reksa Dana Syariah, red.)
kini ramai diperdagangkan. Suatu hal yang mendorong singa pasar modal
dunia, Dow Jones untuk menerbitkan
Islamic Dow Jones Index.
Oleh karena itu, tak heran jika Scharf, mantan direktur utama Bank
Islam Denmark yang beragama Kristen itu menyatakan bahwa bank Islam
adalah partner baru dalam pembangunan. (Lihat Ar-Riba fil Mu’amalat
Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, 2/1017-1020, karya Dr. Abdullah As-Sa’idi,
dan Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal. 18-27, Mohammad Syafi’i
Antonio)
oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Gharib Jamal, salah satu peletak batu pertama bank Islam
dalam makalahnya Al-Masharif wa Buyut At-Tamwil (hal. 45) menerangkan
bahwa bank Islam adalah setiap lembaga yang bergerak di bidang perbankan
yang berkomitmen menjauhi sistem pembungaan ribawi.
Dr. Abdullah As-Sa’idi menyebutkan definisi yang lebih detail:
“Lembaga perbankan berorientasi bisnis yang dibangun di atas syariat Islam.” (Ar-
Riba, 2/1021)
Menilik definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bank-bank syariah memiliki ruang gerak yang cukup luas:
1. Bergerak di bidang mashrafiyah (keuangan), dalam hal ini yang paling menonjol adalah masalah wadi’ah (simpanan/deposito).
2. Bergerak di bidang tijariyah (bisnis).
a. Sistem bagi hasil (profit sharing)
Di dalamnya terdapat masalah musyarakah (partnership, project
financing participation), mudharabah (trust financing, trust
investment), muzara’ah (harvest yield profit sharing), dan musaqah
(plantation management fee based an certain portion of yield).
b. Sistem jual beli (sale and purchase)
Di dalamnya terdapat masalah:
- Murabahah (deferred payment sale/jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati)
- Bai’us Salam (infront payment sale/pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka)
- Istishnaa’ (purchase by order or manufacture/kontrak antara pembeli dan penyedia barang. Dalam kontrak ini, penyedia barang menerima pesanan dari pembeli)
Dalam praktiknya, bank-bank syariah mengembangkan ruang gerak mereka lebih luas seperti:
a. Bergerak di bidang sewa/leasing (operational lease and financial lease/akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan
atas barang atau jasa itu sendiri) yang dikenal dalam fiqih Islam dengan
nama ijarah.
b. Bergerak di bidang jasa (fee-based services).
Di dalamnya terdapat cukup banyak masalah antara lain: wakalah
(deputyship/ pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam
hal-hal yang diwakilkan), kafalah (guaranty/jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
atau tertanggung), hiwalah (transfer services/ pengalihan utang dari
orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, atau
merupakan pemindahan beban utang dari orang yang berutang menjadi
tanggungan orang yang berkewajiban membayar utang), rahn
(mortgage/menahan salah satu harta benda tak bergerak milik peminjam
sebagai jaminan atau hipotek), dan qiradh (soft and benevolent
loan/pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali. Dengan kata lain, meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan).
Dari definisi di atas, juga nampak jelas komitmen yang menjadi landasan bank syariah, yaitu:
1. Semua upaya, usaha, bisnis, dan gerak mereka harus dibangun di atas syariah Islam.
Komitmen ini penerapannya cukup menyeluruh, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:
a. Akad dan aspek legalitas
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad,
berupa rukun-rukunnya yang meliputi: penjual, pembeli, barang, harta,
akad, dan juga syarat-syaratnya, seperti:
- Barang dan jasa harus halal
- Harga barang dan jasa harus jelas
- Tempat penyerahan (delivery) harus jelas
- Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti
yang terjadi pada transaksi shortsale1 di pasar modal.
b. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok. Di antaranya:
- Apakah obyek pembiayaan halal atau haram?
- Apakah proyek menimbulkan kemadharatan untuk masyarakat?
- Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
- Apakah proyek berkaitan dengan judi?
- Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
c. Lingkungan kerja dan corporate culture (budaya perusahaan)
Hal ini meliputi masalah etika karyawan. Mereka harus bersifat
amanah,
shidiq (jujur), dan fathanah (cerdas). Juga cara berpakaian dan tingkah
laku para karyawan harus mencerminkan bahwa mereka bekerja pada sebuah
lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat
yang terbuka dan tingkah laku yang kasar.
2. Menjauhi dan menghilangkan segala sesuatu yang mengandung unsur riba.
Komitmen ini tertuang dalam beberapa ketetapan di hasil muktamar bank
Islam internasional, disampaikan oleh salah seorang pejabat teras
mereka yang bernama Dr. Abdul Aziz Najjar:
a. Bunga dari segala transaksi qiradh (pinjam-meminjam) adalah riba
yang diharamkan. Sebab nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tegas
mengharamkan semua praktik qiradh dengan sistem di atas.
b. Riba adalah haram, sedikit atau banyak. Ini diambil dari pemahaman yang shahih terhadap firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
c. Meminjamkan sesuatu secara riba adalah haram, tidak diperbolehkan walaupun dalam kondisi butuh atau darurat.
Mencari pinjaman (meminjam) dengan cara riba adalah haram, berdosa,
kecuali bila dalam kondisi yang sangat darurat. Pernyataan ini dinukil
dalam kitab Al-Mausu’ah Al-‘Ilmiyah wal ‘Amaliyah lil Bunuuk
Al-Islamiyah (3/126). (Lihat Ar-Riba, Dr. As-Sa’idi (2/1021-1025), Bank
Syariah, Antonio (hal. 29-34).
Wallahu a’lam.
1 Istilah yang lazim dalam perdagangan sekuritas yang menunjukkan
tindakan penjualan sekuritas yang belum dimiliki penjual dengan harapan
agar sekuritas tersebut menurun pada saat penyerahannya sehingga dengan
cara itu penjual akan mendapatkan laba. Misal: Si A memperkirakan harga
saham perusahaan X yang sekarang bernilai Rp 1.000,00 per lembar akan
menurun pada sesi berikutnya. Si A lantas melakukan transaksi penjualan
dengan si B (dalam keadaan si A belum memiliki saham perusahaan X).
Ketika pada sesi berikutnya, harga saham tersebut turun menjadi (misal
menjadi Rp 800,00), si A pun segera melakukan aksi beli saham perusahaan
X untuk kemudian diserahkan kepada B. Maka keuntungan si A pada saat
penyerahan adalah Rp 200,00 dikalikan jumlah lembar saham yang berhasil
dia jual.
Sumber :
Majalah AsySyariah Edisi 053
Karakteristik Bank Syariah
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik
umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara
keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah mudharabah.
Berdasarkan prinsip ini pihak bank akan berfungsi sebagai:
1. Mudharib (pengelola)
Bank bertindak sebagai mitra, dengan penabung sebagai shahibul maal
(pemodal). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan
pembagian keuntungan masing-masing pihak.
2. Shahibul maal (pemodal/investor)
Bagi pengusaha/peminjam dana, bank berfungsi sebagai pemodal, baik
yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa
modal pemegang saham. Sementara sang pengusaha/peminjam berfungsi
sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar
atau mengelola dana bank.
Pada lembaran majalah yang terbatas ini, penulis akan mengupas
masalah terpenting yang ada di bank-bank syariah mengingat terlalu
banyak praktik transaksi dan sistem yang ada pada tubuh bank. Setidaknya
ada pencerahan wawasan tentang bank syariah, apakah syar’i sesuai
komitmen mereka, ataukah hanya “numpang nama” padahal hakikatnya sama
dengan bank konvensional atau bahkan lebih ‘kejam’?
Ada satu hal yang akan dibahas yaitu masalah mudharabah. Berikut ini
rincian hukum syar’inya dan penerapan bank syariah di lapangan.
Mudharabah
Dalam perspektif ilmu fiqh Islami, mudharabah merupakan salah satu
bagian dari pembahasan masalah yang lebih luas yaitu syirkah. Syirkah
sendiri bermakna berserikat (kongsi) dalam sebuah hak atau aktivitas
(Al-Mughni, 6/399).
Syirkah secara global diperbolehkan secara syar’i dengan dasar
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Walaupun ada beberapa
permasalahan yang masih ada khilaf di kalangan fuqaha. Secara syar’i,
syirkah terbagi menjadi dua:
1. Syirkah milkiyah (kepemilikan)1 (شِرْكَةُ الْأَمْلَاكِ)
Syirkah ini tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi tertentu
yang mengharuskan adanya kepemilikan suatu aset oleh dua orang atau
lebih seperti kongsi pada sebuah pabrik, kendaraan, dan lain-lain.
Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam
sebuah aset nyata atau keuntungan yang dihasilkan aset tersebut, diatur
dalam syariat pada hukum waris, wasiat, dan syirkah.
2. Syirkah ‘uqud (akad) (شِرْكَةُ الْعُقُودِ)
Syirkah inilah yang diulas para fuqaha dalam Kitab Syirkah di kitab-kitab mereka.
Syirkah ini ada lima macam:
a. Syirkah Abdan (شِرْكَةُ الْأَبْدَانِ)
Maknanya adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih seprofesi
untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan tersebut.
Misal: Kerjasama dua orang tukang untuk menggarap proyek pembangunan
sebuah rumah, dua orang arsitek kerjasama menggarap sebuah proyek, atau
dua orang penjahit kerjasama menerima order pembuatan baju, atau yang
semisal itu. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Syirkah ini juga disebut dengan شِرْكَةُ الْأَعْمَالِ atau شِرْكَةُ الصِّنَاعِي
b. Syirkah ‘Anan (شِرْكَةُ الْعَنَانِ)
Yaitu kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing
pihak berpartisipasi dalam dana dan kerja. Masing-masing berbagi
keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan bersama dengan memerhatikan
persentase porsi dana masing-masing.
c. Syirkah Wujuh (شِرْكَةُ الْوُجُوهِ)
Maksudnya adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan nama baik hingga dipercaya oleh
perusahaan/pedagang.
Mereka membeli produk dari perusahaan /pedagang tanpa modal dengan
tempo tertentu lalu menjualnya. Keuntungan dan kerugian ditanggung
mereka bersama sesuai kesepakatan. Syirkah ini juga dikenal dengan
istilah syirkah piutang.
d. Syirkah Mufawadhah (شِرْكَةُ الْمُفَاوَضَةِ)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam kitab Al-Mughni (6/436) membagi syirkah ini menjadi dua macam:
• Melakukan kontrak kerjasama pada semua jenis syirkah yang ada.
Misal: Kombinasi antara syirkah ‘anan, wujuh, dan abdan dalam sebuah
kontrak kerjasama.
• Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dengan ketentuan
adanya kesamaan pada dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban
utang, dan lain sebagainya. Bahkan memasukkan aset masing-masing pihak
ke dalam akad syirkah, seperti harta waris, luqathah (harta temuan),
rikaz (harta karun), dan semisalnya.
e. Syirkah Mudharabah2 (شِرْكَةُ الْمُضَارَبَةِ)
Jenis inilah yang menjadi pembahasan kita. Secara bahasa مُضَارَبَةٌ
diambil dari kata ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ yang artinya berjalan di muka
bumi untuk menjalankan usaha. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20)
Mudharabah adalah istilah yang digunakan oleh orang Irak, sementara orang Hijaz menamainya qiradh (قِرَاضٌ).
Secara syar’i, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak, shahibul maal (pemilik harta/pemodal) menyediakan seluruh modal
dan pihak kedua sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Demikian juga dengan kerugian, ditanggung
pula oleh kedua pihak di mana shahibul maal berkurang modalnya
sedangkan pengelola tidak mendapatkan apapun dari usaha tersebut.
Dalam Al-Mughni (6/431), Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Para
ulama telah ijma’ (sepakat) tentang kebolehan mudharabah secara global.
Demikian disebutkan oleh Ibnul Mundzir t.”
Umat manusia juga membutuhkan mudharabah karena harta benda tidak
mungkin berkembang kecuali dengan adanya usaha. Sementara itu, tidak
setiap orang yang mempunyai harta (modal) juga punya skill (keahlian)
dan reputasi yang baik dalam berusaha. Begitu pula, tidak setiap orang
yang punya keahlian berusaha selalu punya modal usaha. Maka Allah l
menghalalkan mudharabah untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Wallahu a’lam.
1 Definisinya adalah kongsi pada kepemilikan sebuah aset (اجْتِمَاعٌ فِي اسْتِحْقَاقٍ) (Asy-Syarhul Mumti’, 4/250)
2 Sebagian ulama tidak memasukkan mudharabah dalam bagian syirkah namun membahasnya secara tersendiri.
Sumber:
Majalah AsySyariah Edisi 053